31 C
Sidoarjo
BerandaNasionalTidur dapat membantu proses emosi #infoMenarik

Tidur dapat membantu proses emosi #infoMenarik


Jakarta (PortalSidoarjo.com) – Para peneliti di Departemen Neurologi Universitas Bern serta Rumah Sakit Universitas Bern mengidentifikasi bagaimana otak mengatur emosi selama bermimpi saat tidur untuk mengkonsolidasikan penyimpanan emosi positif sambil meredam konsolidasi emosi negatif.

Studi ini mempelajari pentingnya tidur dalam kesehatan mental serta menawarkan cara untuk strategi terapi baru seperti dikutip dari jurnal Neuroscience pada Selasa.

Gerakan mata cepat saat tidur (REM atau paradoksikal) ialah keadaan tidur yang unik serta misterius di mana sebagian besar mimpi terjadi bersamaan dengan isi emosional yang intens. tetapi, bagaimana serta mengapa emosi ini diaktifkan kembali belum diketahui dengan jelas.

Korteks prefrontal mengintegrasikan banyak emosi ini selama terjaga tetapi muncul secara paradoks diam selama tidur REM.

“target kami ialah untuk memahami mekanisme yang mendasari serta fungsi dari fenomena yang begitu mengejutkan,” kata Prof. Antoine Adamantidis dari Departemen Penelitian Biomedis (DBMR) di Universitas Bern serta Departemen Neurologi di Inselspital, Rumah Sakit Universitas Bern.

Memproses emosi, khususnya membedakan antara bahaya serta keamanan, sangat penting untuk kelangsungan hidup hewan. Pada manusia, emosi negatif yang berlebihan, seperti reaksi ketakutan serta kecemasan, menyebabkan kondisi patologis seperti Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Di Eropa, sekitar 15 persen populasi dipengaruhi oleh kecemasan yang terus-menerus serta penyakit mental yang parah. Kelompok penelitian yang dipimpin oleh Antoine Adamantidis sekarang memberikan wawasan tentang bagaimana otak membantu memperkuat emosi positif serta melemahkan emosi negatif atau traumatis yang kuat selama tidur REM. Studi ini dipublikasikan di jurnal Science.

Mekanisme ganda

Para peneliti pertama-tama mengkondisikan tikus untuk mengenali rangsangan pendengaran yang terkait dengan keamanan serta lainnya yang terkait dengan bahaya (rangsangan permusuhan). Aktivitas neuron di otak tikus kemudian direkam selama siklus tidur-bangun.

Dengan cara ini, para peneliti dapat memetakan berbagai area sel serta menentukan bagaimana ingatan emosional diubah selama tidur REM.

Neuron terdiri dari badan sel (soma) yang mengintegrasikan informasi yang berasal dari dendrit (input) serta mengirimkan sinyal ke neuron lain melalui aksonnya (output). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa soma sel tetap diam sementara dendritnya diaktifkan.

“Ini berarti pemisahan dua kompartemen seluler, dengan kata lain soma tertidur lelap serta dendrit terjaga,” jelas Adamantidis.

Pemisahan ini penting disebabkan aktivitas dendrit yang kuat memungkinkan penyandian emosi bahaya serta keamanan, sementara penghambatan soma sepenuhnya memblokir output sirkuit selama tidur REM. Dengan kata lain, otak mendukung diskriminasi keamanan versus bahaya di dendrit, tetapi menghalangi reaksi berlebihan terhadap emosi, khususnya bahaya.

Menurut para peneliti, koeksistensi kedua mekanisme bermanfaat bagi stabilitas serta kelangsungan hidup organisme.

“Mekanisme dua arah ini penting untuk mengoptimalkan pembedaan antara sinyal berbahaya serta aman,” kata Mattia Aime dari DBMR, penulis pertama studi tersebut.

Jika diskriminasi ini hilang pada manusia serta reaksi ketakutan yang berlebihan dihasilkan, ini dapat menyebabkan gangguan kecemasan.

Temuan ini sangat relevan dengan kondisi patologis seperti gangguan stres pasca-trauma, di mana trauma terlalu terkonsolidasi di korteks prefrontal, hari demi hari selama tidur.

Temuan ini membuka jalan menuju pemahaman yang lebih baik tentang pemrosesan emosi selama tidur pada manusia serta membuka perspektif baru untuk target terapeutik untuk mengobati pemrosesan memori traumatis yang maladaptif, seperti gangguan stres pascatrauma (PTSD) serta konsolidasi awal yang bergantung pada tidur.

Penelitian tidur serta obat tidur telah lama menjadi fokus penelitian Universitas Bern serta Inselspital, Rumah Sakit Universitas Bern.

“Kami berharap temuan kami tidak hanya menarik bagi Penderita, tetapi juga masyarakat luas,” kata Adamantidis.

Sumber : Antaranews.com

Komentar

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Trending

Jangan lewatkan

0
Punya ide, saran atau kritik? Silakan berkomentar.x
()
x