SURABAYA – Bulan Ramadan kurang dua pekan lalu. Kebutuhan daging serta bahan pokoknya lainnya dipastikan melonjak. Rumah Potong Hewan (RPH) Surabaya pun terus menggelar operasi pasar jelan bulan suci itu.
Direktur Utama RPH Surabaya Fajar A Isnugroho memastikan stok daging di Surabaya jelang Ramadan 1443 Hijriah masih mencukupi. Pihaknya telah menyiapkan delapan ton daging sapi yang akan didistribusikan saat operasi pasar. “Insya Allah, aman ketersediaan daging sapi di Surabaya,” kata Fajar, Rabu (23/3).
Ia menyebut permintaan daging sapi jelang bulan puasa mengalami peningkatan signifikan. Dalam sehari pihaknya memotong 160 ekor sapi. Yang biasanya hanya 150 ekor sapi. “Dua hari terakhir ini kami memotong 160 ekor per hari,” katanya.
Pihaknya juga menggelar operasi pasar bersama Dinas Koperasi Usaha Kecil serta Menengah serta Perdagangan mulai Rabu (23/3) di tiap kelurahan. Per kelurahan dijatah 50 kilogram daging sapi serta 100 pak daging olahan.
“Daging olahan itu berupa pentol bakso, siomay, serta tahu bakso. Kami lakukan (operasi pasar) di Karang Pilang serta terus bergeser ke kelurahan lain,” jelasnya.
Fajar menambahkan, setiap hari operasi pasar digelar di 14 titik kelurahan hingga 30 Maret mendatang. Bahkan, saat Ramadan juga akan ada operasi pasar lagi. Harga daging sapi di Surabaya masih relatif stabil di angka Rp 110 ribu hingga Rp 120 ribu per kilogram.
Mantan wartawan itu memastikan sapi-sapi yang didatangkan di RPH Surabaya dalam kondisi sehat. Selama ini belum ditemukan sapi yang terkena wabah Lumpy Skin Disease (LSD).
Sementara itu, pakar kedokteran hewan Universitas Airlangga Prof Dr Budi Utomo mengatakan, naiknya harga daging sapi di Indonesia dipicu oleh kebijakan Australia yang mengurangi ekspor sapi bakalan (sapi hidup) ke Indonesia. Belum lagi ada ancaman wabah LSD atau penyakit yang menular ke sapi melalui lesi kulit, demam, pengurangan nafsu makan.
“Penyakit itu ditemukan di Provinsi Riau. Sebelumnya terjadi di negara Asia seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, Myanmar, Laos, serta Kamboja,” paparnya.
Di samping itu, ketidakcukupan daging sapi juga disebabkan kurangnya pengetahuan peternak serta inseminator. Pasalnya, ketersediaan indukan sapi masih banyak. Inseminasi buatan atau kawin suntik juga harus digencarkan untuk memperbanyak anakan.
Prof Budi menyebut gangguan reproduksi yang kerap terjadi berupa hipofungsi ovarium. Artinya, ovarium mengalami penurunan fungsi sehingga tidak dapat terjadi ovulasi. “Sehingga berahi tidak terjadi serta ujungnya ternak tidak dapat menghasilkan pedet (anakan sapi),’’ jelasnya. (rmt/rek)