27 C
Sidoarjo
BerandaPilkada Serentak 2020Amanah: ‘Diminta atau Dibeli?‘

Amanah: ‘Diminta atau Dibeli?‘

Opini : Catur Oparasyid

ADA yang bilang politik itu kotor, licik, sarat muslihat, bahkan berpotensi menumbuhkan benih anarkhis dan provokasi. Wow!. Benarkah tu juga akan mewarnai pemilihan kepala daerah si Sidoarjo? Boleh diwaspadai! Namun Sidoarjo memiliki riwayat Pilkada tertib dan aman terkendali; tahun 2010 dan 2015. Situasi itu tampaknya bisa terulang. Mengingat warga Sidoarjo terasa menikmati dinamika Pilkada di tahun ini, 2020.
Suasana pesta demokrasi semakin terasa meriah. Euforia berpolitik dari hari ke hari pun semakin mengembang. Ribuan gambar pasangan calon menghias kota sampai desa mirip bunga trotoar. Dinamikanya menghidupkan pembicaran berbagai komentar kepada calon-calon pilkada ¬

Diminta atau Dibeli?
Sepuluh tahun lalu, di sekitar Blok M Plaza Jakarta ada Warung Ayam Goreng Gantari. Tenda dua plong dan spanduk kuning terpasang memanjang di pagar Gedung Olahraga Bulungan; berdampingan dengan penjual gulai daging yang lazim disebut Gultik aliias Gulai Tikungan.
Usai nonton latihan Teater Tetas tempat warung itu jadi langganan melepas rasa lapar. Malam itu warung yang dikelola Mas Anto terlihat ramai.
“Besok gue balik ke Jawa” ungkap sahabat setelah menulis pesanan.
“What?”
Om gue ingin jadi bupati lagi. Enak katanya. Tapi jangan tanya enaknya seperti apa; yang pasti susah dikalimatkan. Pokoknya nikmat. Memang dia pernah cerita. Kenikmatan jadi kepala daerah itu, salah satunya dipercaya orang. Namun untuk dapatkan kepercayaan itu tak mudah dan tak murah; melelahkan dan butuh perjuangan ekstra.
Gue sempat ngikuti saat membangun citra publik. Tak ada waktu terbuang. Kuantitas pertemuan pun lewat batas hitungan jari kaki dan tangan dalam sehari. Saat pencitraan senyum dan tepuk tangan warga yang datang sangatlah berharga. Segala cara – apa pun – dilakukan mereka seperti itu. Ibaratnya jika tepuk tangan dan senyum itu ada label harganya; pasti diborong. Begitu pula andai ada lelang ‘dukungan suara kolektif’ pasti semua calon bupati tak akan melewatkan.
“Bentar boleh tanya sedikit. Apa money politik itu ada?” kataku menyela.
“Gue nggak paham banget soal itu!”. Pilkada itu mirip investasi kepercayaan. Siapa pun yang ingin jadi bupati harus mampu meraih simpati dan mendapat kepercayaan publik. Menjaga rasa simpati dan percaya sampai waktu jatuh tempo ‘pemungutan suara’ bukan hal sederhana. Andai coba memberi ucapan terima kasih para pemilih sebelum berangkat ke bilik suara; itu pun tidak menjamin.
Memilih soal hati. Nurani rakyat tak selalu bisa ditukar dengan janji ‘mahar politik’. Bila itu ada dan benar terjadi; calon pemimpin tersebut ibarat membeli diri sendiri. Memfaatkan dilema kebutuhan hidup dan menggantinya secara tunai!
“Huhhh… rumit dan berliku!. Amanah itu seolah-olah diminta atau ‘dibeli’ dari rakyat. Namun tetaplah yakin. Masih ada pemimpin yang benar-benar amanah. Tidak meminta namun memberi. Berani mewujudkan mimpi rakyat bukan ingkar janji. (Penulis Buku – Sidoarjo)

Komentar

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Trending

Jangan lewatkan

0
Punya ide, saran atau kritik? Silakan berkomentar.x
()
x